saiidusshiddiqiyah.ac.id—Coba bayangkan. Tanggal 28 Oktober 1928, sekelompok anak muda dari berbagai daerah di Indonesia berkumpul dan mengucapkan sumpah yang sampai sekarang masih kita ingat. Mereka tidak punya smartphone, tidak ada media sosial untuk viral, tetapi berhasil membuat gerakan yang mengubah sejarah bangsa ini. Luar biasa bukan?
Sumpah Pemuda bukan sekadar ikrar biasa yang dibacakan kemudian dilupakan. Ini adalah momen bersejarah ketika anak-anak muda dari berbagai latar belakang, berbeda suku, berbeda daerah, berbeda bahasa, memutuskan untuk bersatu demi satu tujuan: Indonesia merdeka. Dan yang lebih mengagumkan lagi, mereka melakukan ini di tengah-tengah penjajahan Belanda yang masih berkuasa.
Sekarang mari kita kembali ke awal abad ke-20. Waktu itu Indonesia masih dijajah Belanda, dan organisasi-organisasi yang muncul masih terpecah-pecah. Ada Budi Utomo, Sarekat Islam, Indische Partij, dan masih banyak lagi. Masalahnya? Mereka semua berjalan sendiri-sendiri. Ada yang fokus ke daerahnya masing-masing, ada yang berbasis agama tertentu. Belum ada yang namanya kesatuan nasional yang solid.
Anak-anak muda di masa itu menyadari, kalau terus-menerus seperti ini, gerakan mereka akan lemah. Perpecahan hanya membuat penjajah semakin senang dan kuat. Politik etis yang diterapkan Belanda yang memberikan kesempatan sebagian anak muda pribumi untuk bersekolah justru menjadi bumerang bagi mereka. Karena dengan pendidikan itu, anak muda Indonesia menjadi semakin melek tentang nasionalisme dan kemerdekaan.
Menurut Nugroho Notosusanto, kebangkitan nasional Indonesia memang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan modern yang mulai masuk di awal abad ke-20. Pendidikan inilah yang membuat anak muda lebih sadar dan mulai berpikir jauh ke depan tentang konsep bangsa dan negara.
Organisasi Kepemudaan: Awal Mula Bersatu
Di era 1920-an, mulai bermunculan organisasi-organisasi kepemudaan berbasis kedaerahan. Ada Jong Java untuk orang Jawa, Jong Sumatranen Bond untuk orang Sumatera, Jong Celebes, Jong Batak, dan masih banyak lagi. Walau masih berbasis daerah, tetapi mereka memiliki visi yang sama: Indonesia merdeka.
Kemudian pada tanggal 30 April sampai 2 Mei 1926, diadakan Kongres Pemuda I di Jakarta. Ini adalah pertama kalinya berbagai organisasi kepemudaan dari seluruh nusantara berkumpul bersama. Walau belum menghasilkan sesuatu yang konkret, tetapi setidaknya mereka sudah mulai merasakan pentingnya bersatu.
Seperti yang dijelaskan Sartono Kartodirdjo, gerakan pemuda waktu itu adalah wujud nyata dari kesadaran kolektif yang mulai tumbuh di kalangan anak muda terpelajar Indonesia. Mereka mulai melihat bahwa dibutuhkan identitas bersama untuk menghadapi dominasi kolonial.
28 Oktober 1928: Hari yang Mengubah Segalanya
Nah, inilah momen yang paling penting. Kongres Pemuda II digelar tanggal 27-28 Oktober 1928 di tiga tempat berbeda di Jakarta: Gedung Katholieke Jongenlingen Bond di Lapangan Banteng, Gedung Oost-Java Bioscoop, dan gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106 (sekarang menjadi Museum Sumpah Pemuda—kalian harus berkunjung ke sana!).
Kongres ini diprakarsai oleh Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) dengan ketua Soegondo Djojopoespoeto. Hadir berbagai organisasi kepemudaan dari seluruh Indonesia. Mereka berdiskusi panjang lebar tentang pendidikan, bahasa persatuan, dan bagaimana caranya membuat gerakan nasional yang lebih kuat.
Dan pada tanggal 28 Oktober 1928, klimaksnya tiba. Mereka membacakan rumusan hasil kongres yang sekarang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda:
Pertama: Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea: Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga: Kami poetra dan poetri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Sederhana tetapi sangat kuat maknanya, bukan?
Taufik Abdullah menyatakan, Sumpah Pemuda adalah momen historis yang menandai transformasi kesadaran dari identitas kedaerahan ke identitas nasional yang inklusif. Ini bukan sekadar ikrar, tetapi pernyataan tegas: kita adalah Indonesia!
Filosofi di Balik Sumpah Pemuda: Lebih Dalam dari yang Kita Pikirkan
Mari kita bedah makna di balik tiga poin Sumpah Pemuda ini. Ini bukan hanya kata-kata kosong belaka.
Satu tanah air: Ini artinya dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote, semuanya adalah Indonesia. Tidak peduli kamu orang Jawa, Batak, Minang, Papua, atau dari mana pun—kita semua memiliki satu rumah yang sama.
Satu bangsa: Inilah yang membuat Indonesia unik. Kita memiliki ratusan suku, ribuan bahasa daerah, berbagai agama dan kepercayaan. Tetapi semua perbedaan itu tidak membuat kita terpisah. Justru perbedaan itulah yang membuat kita kuat. Keberagaman adalah kekuatan kita!
Satu bahasa persatuan: Ini adalah strategi yang sangat cerdas. Bayangkan kalau setiap suku bersikeras menggunakan bahasanya masing-masing, bagaimana cara berkomunikasi? Dengan bahasa Indonesia, kita memiliki alat untuk berbicara, berbagi ide, dan membangun bangsa ini bersama-sama.
Anhar Gonggong menegaskan bahwa Sumpah Pemuda bukan sekadar ikrar politik, tetapi juga pernyataan eksistensial tentang identitas kebangsaan yang melampaui batas-batas primordial. Ini adalah pernyataan: kita ada, kita nyata, dan kita Indonesia!
Dampaknya: Efek yang Luar Biasa
Setelah Sumpah Pemuda, segalanya berubah. Gerakan nasional yang tadinya tercerai-berai mulai solid. Organisasi-organisasi pergerakan seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Soekarno tahun 1927 semakin mendapat dukungan luas.
Semangat persatuan yang digaungkan dalam Sumpah Pemuda menjadi inspirasi untuk berbagai aksi perlawanan terhadap Belanda. Ini adalah momentum yang mengubah pola pikir anak muda Indonesia: dari “kita orang Jawa, Sunda, Batak” menjadi “kita orang Indonesia.”
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto menyatakan, Sumpah Pemuda adalah titik balik dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia karena berhasil mengkonsolidasikan berbagai kekuatan yang sebelumnya tercerai-berai. Dan konsolidasi inilah yang membuat gerakan kemerdekaan semakin kuat.
Relevansi di Era Urban Sekarang: Masih Penting Tidak?
Baik, ini yang paling penting. Kamu mungkin berpikir, “Itu kan zaman dahulu, sekarang masih relevan tidak?”
Jawabannya: SANGAT RELEVAN!
Sekarang ini kita hidup di era digital yang serba cepat. Kita bisa berbicara dengan orang di ujung dunia hanya dengan sekali sentuh. Tetapi ironisnya, kita malah semakin terpecah belah. Hoaks dan ujaran kebencian bertebaran di media sosial. Kita sangat mudah berkonflik karena berbeda pendapat politik, agama, atau suku.
Inilah yang membuat Sumpah Pemuda masih sangat relevan. Para pemuda 1928 mengajarkan kita bahwa perbedaan itu bukan penghalang untuk bersatu. Mereka datang dari berbagai latar belakang, tetapi bisa duduk bersama dan sepakat untuk satu tujuan besar.
Untuk kamu anak muda urban yang sering menggunakan TikTok, Instagram, atau Twitter, ingat: platform itu bisa menjadi alat untuk menyatukan atau memecah belah. Pilihan ada di tanganmu. Kamu mau menjadi bagian dari solusi atau bagian dari masalah?
Untuk kamu yang bekerja di startup atau perusahaan multinasional, nilai-nilai Sumpah Pemuda juga berlaku. Keberagaman dan inklusi bukan hanya jargon kosong. Ini adalah kekuatan nyata. Ketika kamu bisa berkolaborasi dengan orang dari berbagai latar belakang, kamu akan menghasilkan inovasi yang lebih baik.
Untuk kamu yang aktivis atau peduli dengan isu sosial, Sumpah Pemuda mengajarkan kita bahwa perubahan itu dimulai dari kesadaran kolektif. Anak muda 1928 tidak menunggu orang tua atau pemerintah untuk bergerak. Mereka mengambil inisiatif sendiri. Kamu juga bisa!
Indonesia di masa depan ada di tanganmu. Mau dibawa ke mana, tergantung pilihan dan tindakanmu hari ini. Semangat Sumpah Pemuda bukan hanya tentang mengenang masa lalu, tetapi tentang membangun masa depan yang lebih baik.
Para pemuda 1928 telah memberikan fondasi yang kuat. Sekarang giliran kita untuk melanjutkan perjuangan mereka—bukan dengan pedang atau senjata, tetapi dengan pendidikan, inovasi, toleransi, dan kerja keras. Mereka bersatu untuk kemerdekaan, kita harus bersatu untuk membangun Indonesia yang lebih maju, adil, dan sejahtera.
Referensi:
Abdullah, Taufik. 1987. Sejarah dan Masyarakat: Lintasan Historis Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Gonggong, Anhar. 1992. Abdul Rachman Saleh: Diplomat, Pendekar Bangsa. Jakarta: Grasindo.
Kartodirdjo, Sartono. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Notosusanto, Nugroho. 1984. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Kontributor: S.Yayu.M

