Sunan Gunung Jati dan Dinamika Islam di Jawa Barat

saiidusshiddiqiyah.ac.id—Syarif Hidayatullah merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa Barat. Mengenai nama beliau, sering terjadi kerancuan antara Fatahillah dan Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunung Jati. Banyak orang mengira keduanya adalah sosok yang sama, padahal sebenarnya mereka adalah dua tokoh yang berbeda. Syarif Hidayatullah adalah cucu kerajaan Pajajaran yang menyebarkan agama Islam di wilayah Jawa Barat dan kemudian dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Sementara itu, Fatahillah merupakan pemuda asal Pasai yang diutus Sultan Trenggana untuk membantu Sunan Gunung Jati dalam memerangi penjajah Portugis.

Syarif Hidayatullah dilahirkan di Pasai, Aceh, diperkirakan pada akhir abad ke-15 M atau awal abad ke-16 M. Ayah beliau bernama Maulana Sultan Mahmud, dikenal pula dengan nama Syekh Syarif Abdullah bin Syekh Nurul Alim, seorang ulama yang berasal dari Mesir. Ibunya adalah Ratu Mas Rarasantang, putri Raja Pajajaran Raden Pamanah Rasa atau Prabu Siliwangi.

Pada masa mudanya, Syarif Hidayatullah telah kehilangan ayahnya. Ia sempat ditunjuk untuk menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Raja Mesir, namun pemuda berusia sekitar dua puluh tahun itu menolak amanah tersebut. Bersama ibunya, ia memilih kembali ke tanah Jawa dengan niat berdakwah di wilayah Jawa Barat. Jabatan yang ditolaknya itu kemudian diberikan kepada adiknya, Syarif Nurullah.

Pada masa kecilnya, Syarif Hidayatullah belajar agama langsung dari ayahnya. Setelah itu, beliau berniat menambah wawasan keilmuannya dan berangkat ke Mekkah. Di sana, beliau menimba ilmu dari para ulama terkemuka, di antaranya Syekh Tajmuddin al-Kubra dan Syekh Atha’illah as-Syadzali. Dua tahun menuntut ilmu di Mekkah belum membuatnya merasa puas, sehingga beliau melanjutkan perjalanan ke Baghdad untuk memperdalam ilmu tasawuf. Sepulang dari berbagai rihlah ilmiah itu, Syarif Hidayatullah menjadi seorang pemuda yang menguasai banyak disiplin ilmu. Ia dikenal pandai berpidato, mahir berpantun, serta memiliki kemampuan sastra yang tinggi sehingga mampu menarik perhatian banyak orang.

Syarif Hidayatullah juga dikenal memiliki spiritualitas mendalam sebagaimana kakek buyutnya, Syekh Maulana Akbar. Ketinggian spiritual inilah yang mengantarkannya pada kedudukan mulia di sisi Allah Swt.

Pada tahun 1475, Syarif Hidayatullah bersama ibundanya, Syarifah Muda’im, tiba di daerah Caruban Larang, Jawa Barat. Setibanya di sana, mereka disambut dengan hangat oleh Pangeran Cakrabuana beserta keluarganya. Setelah wafatnya guru beliau, Syekh Datuk Kahfi, Syarif Hidayatullah dan ibundanya melanjutkan perjuangan sang guru di Pesantren Gunung Jati. Dari sinilah beliau kemudian lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati.

Selain melanjutkan perjuangan Syekh Datuk Kahfi, Syarif Hidayatullah juga memperluas jaringan dakwahnya melalui pendekatan budaya dan diplomasi, sehingga ajaran Islam dapat diterima masyarakat Caruban secara damai dan bertahap. Pada tahun 1479, Syarif Hidayatullah memegang tampuk kekuasaan di Negeri Caruban dengan gelar Susuhunan, yang berarti “orang yang dijunjung tinggi.” Kekuasaan ini diserahkan kepadanya karena usia Pangeran Cakrabuana yang telah lanjut.

Dikisahkan bahwa pada tahun pertama pemerintahannya, Syarif Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran untuk menemui Prabu Siliwangi. Tujuannya adalah mengajak Sang Prabu kembali memeluk Islam. Namun, Prabu Siliwangi menolak ajakan tersebut. Meski demikian, beliau tidak menghalangi cucunya itu untuk menyebarkan agama Islam di berbagai wilayah.

Setelah itu, Syekh Syarif Hidayatullah melanjutkan perjalanan menuju Serang. Di daerah tersebut, banyak penduduk telah memeluk Islam karena intensitas perdagangan dengan para saudagar Arab dan Gujarat. Kedatangan Syarif Hidayatullah disambut hangat oleh Adipati Banten. Bahkan, beliau dijodohkan dengan putri sang adipati yang bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini, lahirlah dua orang anak: Nyi Ratu Winaon dan Pangeran Sabakingking.

Dalam menjalankan pemerintahannya, Syarif Hidayatullah tidak bekerja sendiri. Ia kerap bermusyawarah dengan para anggota Wali Songo lainnya di Masjid Demak. Melalui hubungan baiknya dengan Sultan Demak dan para wali tersebut, Syarif Hidayatullah kemudian mendirikan Kesultanan Pakungwati serta menasbihkan diri sebagai sultan pertama. Sejak berdirinya kesultanan ini, Cirebon tidak lagi mengirim upeti kepada Pajajaran, yang sebelumnya disalurkan melalui Kadipaten Galuh.

Dengan bergabungnya pasukan dan para perwira pilihan dari Cirebon, pengaruh Kesultanan Pakungwati semakin meluas. Banyak daerah, seperti Surakarta, Japura, Wanagiri, dan Telaga—menyatakan diri bergabung dengan Kesultanan Cirebon. Terlebih lagi, setelah Pelabuhan Muara Jati diperluas, kekuatan dan pengaruh Kesultanan Cirebon semakin besar dan mengukuhkan posisinya sebagai kekuatan penting di wilayah tersebut.

Pada tahun 1511, Malaka jatuh ke tangan Portugis. Setelah menguasai wilayah itu, mereka berambisi memperluas pengaruhnya hingga ke Pulau Jawa. Salah satu wilayah yang menjadi incaran untuk dijadikan pusat kekuasaan baru adalah Pelabuhan Sunda Kelapa. Demak menyadari bahwa ancaman Portugis dapat membawa bahaya besar bagi seluruh kawasan Nusantara. Karena itu, Raden Fatah segera mengutus Adipati Unus—yang juga dikenal sebagai Pangeran Sabrang Lor—untuk menyerang Portugis di Malaka. Namun, serangan tersebut belum membuahkan hasil karena kekuatan persenjataan Portugis jauh lebih unggul.

Di antara para pejuang Malaka yang kemudian datang ke Tanah Jawa terdapat seorang tokoh bernama Fatahillah. Ia diangkat menjadi panglima perang pada masa Sultan Trenggana.

Fatahillah kemudian diberi tugas menjaga wilayah Banten dari berbagai pemberontakan. Tugas ini berhasil dilaksanakan dengan baik karena ia dibantu oleh putranya, Pangeran Sabakingking, yang kelak menjadi penguasa Banten bersama Pangeran Hasanuddin. Adapun Fatahillah sendiri diangkat sebagai Adipati Sunda Kelapa. Setelah berhasil merebut wilayah tersebut, namanya diubah menjadi Jayakarta, dan pada masa selanjutnya berubah lagi menjadi Jakarta, ibu kota Indonesia saat ini.

Keberhasilan merebut Banten dan Sunda Kelapa membuat wilayah kekuasaan Kesultanan Demak semakin luas. Kedua daerah tersebut memiliki arti strategis bagi Demak karena menjadi pintu gerbang menuju wilayah barat Pulau Jawa, seperti Lampung, Palembang (Sriwijaya), Malaka (Aceh), dan daerah lainnya.

Setelah itu, Fatahillah kembali meraih kemenangan besar dengan menaklukkan beberapa negeri kecil, di antaranya kerajaan yang dipimpin seorang raja penganut Buddha bernama Prabu Pacukuman. Ia juga berhasil meruntuhkan Kerajaan Galuh yang dipimpin Prabu Cakraningrat bersama senopatinnya, Aria Kaban. Keduanya dikenal sebagai tokoh yang sakti, namun tetap tidak mampu menghadapi kekuatan besar dari Cirebon yang saat itu sangat tangguh dan kompak, serta dibekali keimanan dan ketakwaan yang kuat. Dalam pertempuran itu, raja dan senopatinya gugur.

Setelah meraih serangkaian kemenangan gemilang tersebut, Fatahillah mengutus seorang prajurit ke Demak untuk melaporkan hasil perjuangannya. Sultan Trenggana menyambut kabar itu dengan penuh suka cita. Ia merasa bangga atas keberhasilan pasukan gabungan Demak–Cirebon yang dipimpin oleh adik iparnya, Fatahillah.

Referensi:

A Rosyad, Shiddiq. 2007. Sunan Gunung Jati. Jakarta Selatan: PT. Gunara Kata.

Ekadjati, Edi S. 1995. Cirebon: Sejarah dan Kebudayaannya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Maman, Abdul Djaliel. 2012. Keteladanan dan perjuangan Wali Songo dalam Menyiarkan Agama Islam di Tanah Jawa. Bandung: Pustaka Setia.

MB, Rahimsyah. 2022. Kisah Wali Songo Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa. Jakarta: Bintang Indonesia.

Nunung, Marzuki. 2007. Kisah Wali Sanga. Jakarta: Pacu Minat Baca.

Kontributor: Ahmad Zam Zami, Semester III

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *