Agresi Militer Belanda II: Titik Balik Menuju Kedaulatan

saidusshiddiqiyah.ac.id—Agresi Militer Belanda II merupakan salah satu peristiwa paling menentukan dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Serangan besar-besaran yang dilancarkan Belanda pada 19 Desember 1948 ini bukan hanya berupa tindakan militer, melainkan juga upaya politik untuk meruntuhkan keberadaan Republik Indonesia yang baru beberapa tahun berdiri. Peristiwa ini menunjukkan bagaimana bangsa Indonesia menghadapi ancaman yang tidak hanya menguji kekuatan senjata, tetapi juga keteguhan diplomasi, nasionalisme, dan solidaritas rakyat.

Agresi Militer Belanda II, yang dalam propaganda kolonial disebut sebagai “Operatie Kraai” (Operasi Gagak), bertujuan merebut pusat kekuasaan Republik Indonesia dan menghancurkan struktur pemerintahannya. Namun, hasil akhirnya justru berbalik arah: agresi ini memperkuat posisi Indonesia di mata dunia dan menjadi salah satu pendorong utama menuju pengakuan kedaulatan pada tahun 1949.

Latar Belakang Konflik

Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Belanda berusaha kembali menguasai Indonesia melalui berbagai cara, termasuk diplomasi dan intervensi militer. Perjanjian Linggarjati (1947) dan Renville (1948) gagal menciptakan perdamaian yang stabil karena kedua pihak memiliki interpretasi berbeda mengenai kedaulatan.

Bagi Indonesia, perjanjian-perjanjian tersebut adalah jalan kompromi agar republik tetap dapat bertahan di tengah tekanan politik dan militer. Namun, bagi Belanda, perjanjian digunakan sebagai strategi untuk menguasai kembali wilayah-wilayah strategis yang mereka anggap penting secara ekonomi dan militer.

Pada tahun 1948, ketegangan semakin meningkat. Belanda menuduh Indonesia melanggar perjanjian Renville, sementara Indonesia menilai Belanda tidak menghormati batas wilayah yang telah disepakati. Dalam kondisi ini, Belanda mempersiapkan operasi militer besar untuk menjatuhkan pemerintahan republik yang ketika itu berkedudukan di Yogyakarta.

Jalannya Agresi Militer Belanda II

Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda secara resmi melancarkan agresi militer besar-besaran. Kota Yogyakarta dibombardir dari udara, dan pasukan darat menyerbu secara cepat. Belanda menargetkan Yogyakarta karena pada saat itu kota tersebut menjadi ibu kota Republik Indonesia setelah Jakarta jatuh pada Agresi Militer Belanda I (1947).

Serangan berlangsung secara tiba-tiba dan terencana. Dalam beberapa jam, Belanda berhasil menduduki titik-titik strategis. Para pemimpin nasional seperti Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir akhirnya ditangkap dan diasingkan. Belanda kemudian mengumumkan kepada dunia bahwa “Republik Indonesia sudah tidak ada lagi”. Namun, pernyataan ini terbukti keliru.

Sebelum ditangkap, Soekarno meminta Jenderal Sudirman tetap memimpin perlawanan bersenjata melalui perang gerilya. Meskipun sedang sakit keras, Sudirman menolak menyerah. Ia memimpin ribuan pasukan TNI bergerilya dari hutan ke hutan di Jawa, mempertahankan eksistensi Republik Indonesia.

Gerilya ini sangat penting karena:

  1.  Menunjukkan bahwa Republik Indonesia belum runtuh.
  2.  Menjadi simbol perlawanan rakyat.
  3.  Menekan militer Belanda dan memperburuk citra Belanda di mata internasional.

Pasukan TNI dan laskar rakyat melakukan sabotase, penyerangan kecil, serta menguasai kembali beberapa daerah di pedalaman. Perlawanan inilah yang kelak membuktikan bahwa Indonesia tidak pernah takluk.

Reaksi Internasional dan Diplomasi

Salah satu faktor terbesar yang menggagalkan agresi Belanda adalah tekanan internasional. Setelah pendudukan Yogyakarta, berita mengenai tindakan Belanda menyebar cepat ke dunia. Banyak negara menilai langkah Belanda sebagai bentuk kolonialisme modern yang tidak dapat dibenarkan pasca Perang Dunia II.

Dewan Keamanan PBB mengadakan sidang darurat dan menuntut Belanda menghentikan operasi militer. Negara-negara seperti India, Australia, Amerika Serikat, dan Uni Soviet mengecam keras tindakan Belanda.

Tekanan terbesar datang dari Amerika Serikat. Pada masa itu, Belanda sangat bergantung pada bantuan Marshall Plan untuk pemulihan ekonomi pasca perang. Amerika Serikat mengancam akan menghentikan bantuan tersebut jika Belanda tidak segera menghentikan agresinya. Tekanan ekonomi dan diplomatik inilah yang memaksa Belanda kembali ke meja perundingan.

Serangan Umum 1 Maret 1949

Salah satu momen penting setelah agresi ini adalah Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dipimpin oleh Letkol Soeharto atas arahan Jenderal Sudirman dan dengan dukungan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Operasi ini berhasil merebut Yogyakarta selama enam jam sebelum akhirnya pasukan Indonesia mundur kembali. Serangan ini memiliki dampak strategis yang besar:

  1. Menunjukkan kepada dunia bahwa pasukan Indonesia masih kuat.
  2. Membuktikan bahwa Republik belum runtuh meskipun pemimpinnya ditangkap.
  3. Menguatkan posisi Indonesia dalam diplomasi internasional.

Peristiwa ini kemudian menjadi simbol bahwa agresi Belanda gagal mencapai tujuannya.

Akhir Agresi dan Pengakuan Kedaulatan

Tekanan internasional semakin kuat sehingga Belanda dipaksa menarik diri dari Yogyakarta pada Juni 1949. Setelah melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, akhirnya pada 27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan Indonesia secara resmi.

Agresi Militer Belanda II, yang awalnya bertujuan meruntuhkan Republik, justru menjadi titik balik menuju kemerdekaan penuh.

Dampak Agresi Militer Belanda II

  1.  Dari sisi politik:

Agresi ini memperkuat legitimasi Republik Indonesia di mata dunia. Banyak negara semakin mendukung kemerdekaan Indonesia.

  1. Dari sisi militer:

Perang gerilya membentuk kekuatan pertahanan nasional yang lebih solid dan terorganisir.

  1.  Dari sisi sosial:

Rakyat semakin bersatu melawan penjajahan. Spirit nasionalisme tumbuh besar, terutama setelah peristiwa pendudukan Yogyakarta.

  1. Dari sisi diplomasi:

Indonesia belajar bahwa diplomasi dan dukungan internasional sangat penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Strategi dan Pelibatan Komprehensif

Serangan Umum 1 Maret 1949 bukan sekadar operasi militer Konvensional, melainkan hasil perencanaan dan Kolaborasi luas antara elemen militer, Masyarakat sipil, dan struktur tradisional local sehingga menunjukkan bahwa perjuangan kemerdekaan tetap didukung “semua komponen bangsa”. Menurut penelitian dalam jurnal “Nirwasita”: Jurnal Pendidikan Sejarah dan Ilmu Sosial”, Strategi Perang gerilya digunakan secara sistematis dalam serangan ini.

Penelitian tersebut menegaskan bahwa dalam penyerangan, tidak hanya pasukan reguler yang terlibat, tetapi juga laskar rakyat, aparat kepolisian, warga sipil, serta elit local seperti keraton bersatu untuk menunjukkan bahwa negara Republik Indonesia masih eksis.

Pendekatan gerilya dan infiltrasi sebelum Hari H menjadi Kunci: pasukan diberi tugas menyusup ke berbagai sudut kota Yogyakarta sebelum D-day, untuk mengecoh militer Belanda, melemahkan pertahanan mereka, dan memudahkan serangan massal pada 1 maret.

Dengan demikian, Serangan Umum bukan hanya aksi militer, tetapi manifestasi solidaritas nasional, rakyat, dan militer bersama-sama.

Kronologi dan Pelaksanaan Serangan

Berdasarkan catatan kronologis: pada 1 maret 1949 pukul 06.00 WIB sirine dibunyikan sebagai penanda dimulainya serangan serentak di seluruh wilayah Yogyakarta dan sekitarnya.

Serangan diarahkan ke berbagai titik strategis benteng, Kantor pemerintahan, kantor pos, hotel yang digunakan markas Belanda, jalur komunikasi atau stasiun kereta, dan wilayah pemukiman dengan komando lapangan dari berbagai perwira [brigade], termasuk yang dipimpin oleh Soeharto [sebagai komandan lapangan utama], apabila mempertimbangkan versi tradisional narasi Sejarah.

Selama kurang lebih enam jam hingga sekitar siang hari, pasukan Indonesia berhasil menduduki Yogyakarta. Tepat Ketika pasukan bantuan Belanda diperkirakan akan tiba, Pasukan Indonesia mundur secara teratur, sesuai rencana, Kembali ke basis gerilya.

Dampak Simbolik, Diplomatik, dan Moral

Meskipun penduduk Yogyakarta hanya sementara, serangan ini memiliki dampak yang jauh lebih besar daripada durasi fisiknya. Berdasarkan analisis dalam jurnal “ Jurnal Indonesia Sosial Sains”, Serangan Umum 1 Maret 1949 dipandang setara dalam signifikansi dengan peristiwa besar dekolonisasi menandai titik di mana strategi colonial gagal menghadapi tekad nasionalis yang terorganisir secara taktis dan kolektif.

Publikasi internasional dan laporan ke badan internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kemudian menerima kabar bahwa Republik Indonesia melalui TNI dan rakyat masih berfungsi, masih memperjuangkan kedaulatan, meskipun pusat pemerintahan sempat di tawan. Hal itu menguatkan legitimasi diplomatic Indonesia di mata dunia.

Dari sisi moral dan nasionalisme, serangan itu menjadi simbol persatuan rakyat dan militer, memberikan semangat baru  bagi gerilya dan basis perjuangan di pedalaman, serta memperkuat rasa identitas nasional ditengah tekanan penjajahan. “Keberadaan Belanda di Kota Yogyakarta tidak dapat dianggap sah” seperti yang disimpulkan dalam penelitian Sejarah.

Kesimpulan

Agresi Militer Belanda II adalah titik penting dalam sejarah perjuangan Indonesia. Meski Belanda berusaha menghancurkan Republik secara militer dan politik, keberanian pasukan gerilya, keteguhan pemimpin nasional, serta dukungan internasional berhasil menggagalkan upaya tersebut.

Peristiwa ini menunjukkan bahwa kemerdekaan tidak hanya dipertahankan dengan senjata, tetapi juga dengan solidaritas rakyat, diplomasi yang cerdas, dan semangat untuk tetap berdiri sebagai bangsa merdeka. Agresi Militer Belanda II mengingatkan kita bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hasil dari perjuangan panjang yang melibatkan seluruh elemen bangsa.

Referensi:

Anderson, B. 1972. Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance 1944–1946. Ithaca, NY: Cornell University Press.

Kahin, G. M. 1952. Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca, NY: Cornell University Press.

Moedjanto, G. 1998. Indonesia Abad ke-20: Dari Kebangkitan Nasional hingga Reformasi. Yogyakarta: Kanisius.

Reid, A. 1974. The Indonesian National Revolution, 1945–1950. London: Longman.

Ricklefs, M.C. 2008. A History of Modern Indonesia Since c.1200. Stanford : Stanford University Press.

Penerapan Strategi Perang Gerilya dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta Sandyka Pratama. Nirwasita: Jurnal Pendidikan Sejarah dan Ilmu Sosial, Vol, 4 No. 1 [2023], hlm. 98-107.

Peran Benteng Vredeburg Dalam Peristiwa Agresi Militer Belanda II Dan Serangan Umum 1 Maret Tahun 1948-1949 . Azriel Satria Mukti dan Muhammad Iqbal Birsyada. Santhet: Jurnal Sejarah Pendidikan dan Humaniora], Vol. 8 No. 2 [2024]. 

Kontributor: Nurul Hidayah Tunnisa, Semester V

Editor: S. Yayu. M

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *