saiidusshiddiqiyah.ac.id—Omar Mukhtar, seorang tokoh pejuang kemerdekaan dari Libya, merupakan simbol perlawanan terhadap penjajahan Italia di Afrika Utara. Dijuluki “Singa Padang Pasir”. Ia memimpin gerakan perlawanan rakyat Libya selama lebih dari dua dekade, memperjuangkan kemerdekaan dan harga diri bangsanya dengan semangat pantang menyerah. Keberanian dan keteguhan hati Omar Mukhtar menjadikannya tokoh legendaris yang dikenang sampai sekarang. Tidak hanya di Libya, tetapi juga oleh umat Islam dan bangsa-bangsa yang pernah mengalami kolonialisme.
Omar Mukhtar bukanlah seorang militan sejak awal. Ia merupakan lulusan dari madrasah al-Jaghbub, sebuah pusat pendidikan Islam yang didirikan oleh tarekat Sanusiyah. Tarekat ini memiliki pengaruh besar di kawasan Afrika Utara dan dikenal dengan semangat keislaman, moralitas tinggi, serta keterlibatan dalam isu-isu sosial-politik.
Sanusiyah bukan hanya gerakan spiritual, melainkan juga basis perjuangan rakyat melawan kolonialisme. Ketika Italia menyerang Libya, tarekat ini menjadi salah satu penggerak utama dalam melawan pendudukan. Mukhtar sebagai salah satu pengajar dan pemimpin lokal Sanusiyah, menjadikan pendidikan agama sebagai bekal moral dalam mengorganisir perlawanan.
Perjuangan Omar Mukhtar bermula ketika Italia menjajah wilayah Cyrenaica, Libya bagian timur, pada tahun 1911. Saat itu, Mukhtar telah dikenal sebagai guru agama dan tokoh Sufi dari tarekat Sanusiyah. Meskipun berasal dari kalangan ulama, ia tidak tinggal diam melihat penderitaan rakyat akibat penjajahan. Ia mulai memimpin pasukan kecil gerilyawan yang beroperasi di kawasan gurun, memanfaatkan medan yang sulit dan pengetahuan lokal untuk menyerang pos-pos militer Italia.
Strategi “hit and run” yang digunakan Mukhtar sangat menyulitkan tentara Italia. Mereka tidak bisa mengandalkan teknologi dan jumlah karena medan pertempuran sangat menantang. Setiap serangan Mukhtar memiliki dampak moral besar, memicu semangat rakyat dan membuat Italia merasakan tekanan yang berkelanjutan.
Strategi gerilya Omar Mukhtar sangat efektif. Dengan persenjataan yang sederhana, pasukan rakyat yang dipimpinnya berhasil mengguncang kekuatan militer kolonial Italia yang jauh lebih modern dan besar. Dalam berbagai kesempatan, Mukhtar menunjukkan kepemimpinan yang tegas dan adil, serta semangat jihad yang tinggi tanpa mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Ia melarang anak buahnya menyerang warga sipil dan menekankan pentingnya menjaga akhlak dalam berperang.
Keteguhan perlawanan Omar Mukhtar membuat pemerintah kolonial Italia mengambil langkah-langkah ekstrem. Salah satunya adalah penunjukan Jenderal Rodolfo Graziani sebagai komandan militer Italia di Libya. Graziani dikenal kejam dan tidak segan menggunakan metode genosida dalam menumpas pemberontakan.
Puluhan ribu rakyat Libya ditangkap dan dipindahkan ke kamp-kamp konsentrasi. Desa-desa dihancurkan, hewan ternak dirampas, dan saluran air dirusak untuk mematahkan logistik gerilyawan. Tindakan ini tercatat dalam berbagai laporan sejarah sebagai pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia.
Perlawanan Mukhtar tidak hanya bermakna militer, tetapi juga spiritual. Baginya, perjuangan melawan penjajahan adalah bentuk nyata dari jihad fi sabilillah. Dalam salah satu pernyataannya yang terkenal, ia berkata: “Kami tidak akan menyerah, kami menang atau mati. Dan mereka yang percaya bahwa kami akan menyerah, bisa menunggu hingga kami mati.”
Kata-kata itu mencerminkan keyakinan teguh bahwa kemerdekaan tidak bisa dibeli dengan kompromi atau ditukar dengan jabatan. Bahkan ketika usianya telah lanjut, Omar Mukhtar tetap memimpin pasukan dari garis depan, menunjukkan bahwa keberanian sejati berasal dari kekuatan iman dan ketulusan niat.
Pada tanggal 11 September 1931, pasukan Italia yang dipimpin oleh Graziani berhasil menyergap pasukan Mukhtar di dekat Slonta dan Omar Mukhtar tertangkap. Ia kemudian diadili oleh pengadilan militer Italia secara tidak adil. Ketika ditanya apakah ia akan tunduk pada kekuasaan Italia, Mukhtar menjawab dengan lantang bahwa ia tetap berjuang demi kebebasan tanah air. Akhirnya, pada tanggal 16 September 1931, ia dihukum gantung di depan ribuan rakyat Libya yang dipaksa menyaksikan eksekusi itu.
Meskipun tubuhnya telah tiada, semangat perjuangan Omar Mukhtar tidak pernah padam. Ia menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan ketidakadilan. Film “Lion of the Desert” yang disutradarai oleh Moustapha Akkad pada tahun 1981 turut memperkenalkan kisah heroiknya ke dunia internasional. Dalam film tersebut, sosok Mukhtar diperankan oleh Anthony Quinn dan memperlihatkan bagaimana keteguhan seorang pemimpin rakyat dapat mengguncang kekuasaan besar kolonialisme.
Warisan perjuangan Omar Mukhtar sangat terasa dalam sejarah kemerdekaan Libya. Ketika Libya akhirnya merdeka pada tahun 1951, nama Omar Mukhtar disebut sebagai pahlawan bangsa. Gambarnya terpampang dalam mata uang nasional, dan kisahnya diajarkan di sekolah-sekolah sebagai teladan keberanian dan keimanan. Bahkan setelah era Khadafi dan pergolakan politik Libya di abad ke-21, nama Omar Mukhtar tetap hidup sebagai simbol moral dan patriotisme sejati.
Perjalanan hidup Omar Mukhtar membuktikan bahwa keberanian, keimanan, dan tekad yang kuat mampu melawan kekuatan sebesar apa pun. Ia bukan hanya pejuang, tapi juga guru yang mengajarkan bahwa kemerdekaan adalah hak setiap bangsa dan harus diperjuangkan dengan cara yang mulia. Sejarah telah mencatatnya bukan sebagai orang yang menaklukkan dengan senjata, tetapi sebagai pribadi yang menginspirasi dengan keteladanan dan pengorbanan.
Referensi
Evans Pritchard, E. E. 1949. The Sanusi of Cyrenaica. Oxford: Clarendon Press.
As-Salabi, ‘A. M. 2008. Omar al-Mokhtar: Lion of the Desert. Kairo: Dar al-Ma’arif.
Rochat, G. 1973. Il Colonialismo Italiano. Torino: Loescher Editore.
St. John, R. B. 2006. Historical Dictionary of Libya. Lanham, MD: Scarecrow Press.
Dhont, F. 2012. The historical figure of Omar al-Mukhtar and Islamic martyrdom in Indonesia. Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies.
Moustapha Akkad (Director). 1981. Film Lion of the Desert. Tripoli: Falcon International Productions
Kontributor:Ahmad Zamzami Yakfi Bini ‘Amillah

