Penulis merasa tergelitik untuk menuliskan problem yang sudah terjadi berkali-kali ini, sebagai pegiat kajian minoritas, ketika melihat, bahkan merasakan langsung ‘ketimpangan’ yang terjadi antara mayoritas dan minoritas ini agak membuat gusar dalam pikiran.
Tahun 2023 lalu, saat MQK Nasional di Lamongan, penulis sudah memberikan usulan dan kritikan kepada panitia penyelenggara, terutama perihal kategori MQK Bahsul Kutub pada tingkat Mahad Aly. Pada tahun ini, ternyata tetap saja problemnya, bahkan materi yang diujikan itu benar-benar merupakan bentuk ‘hegemoni’ takhasus mayoritas terhadap minoritas.
Kenapa penulis katakan ‘hegemoni’? logika sederhananya seperti ini : materi perlombaan MQK Bahsul Kutub adalah ‘Fathul Wahab’ karya Syaikh Zakariya al-Anshari (926 H), ini merupakan kitab syarah dari ‘Manhaj al-Thullab’ karya beliau sendiri, yang kitab tersebut merupakan bentuk ringkasan (walaupun super panjang juga) dari kitab ‘Minhaj al-Thalibin’ karya Imam Nawawi (676 H).
Apakah panitia benar-benar memahami ‘dasar pemilihan’ kitab tersebut? bahwa Minhaj itu salah satu kitab tersulit untuk dipahami dalam madzhab syafii? Dengan banyak istilah di dalamnya, bahkan ada kitab khusus yang membahas ‘rumus’ di dalamnya, seperti ‘al-Ibtihaj fi Bayani Istilah al-Minhaj’ karya Ahmad bin Smith (1227 H) karna banyak yang salah dalam memahami istilah-istilah baik matan ataupun syarah Minhaj, ini baru membahas rumusnya, belum isi kitabnya.
Jika ada orang berkelakar “Lah, kan harusnya Mahad Aly sudah punya dasar yang kuat dalam ilmu alatnya?” ini logika ‘cekak’ akal sekali. Ibaratnya, banyak hewan yang punya sayap, apakah itu berarti mereka semua bisa terbang? Tentu tidak! Burung unta punya sayap, tapi hanya untuk keseimbangan berlari, Pinguin punya sayap, tapi hanya untuk berenang, ayam juga punya sayap, tapi paling banter untuk melompat. Lha, orang yang sudah tahunan bergelut dengan fikih madzhab Syafi’i saja, belum tentu memahami fikih madzhab Maliki, karna perlu proses panjang untuk merekontruksi pemahaman istilah-istilah dan kebiasaan yang dipakai madzhab lain.
Maka dari itu, bisa dibayangkan? Takhasus sejarah, falak, hadis, yang tiap hari harus bergelut dengan fan keilmuan khusus mereka, harus dituntut ikut terbang semua memahami ‘Fathul Wahab’. Sedangkan, takhasus fikih sudah setiap hari menjadikan kitab tersebut menjadi hidangan, dan bahkan dimusyawarahkan tiap malam. Apakah ini sebuah pemilihan materi yang adil? Akan tetapi, walaupun realitanya seperti itu, kami tidak berkecil hati, MQKN kali ini, kami yang takhasus sejarah mendapatkan urutan peringkat ke-11 dari Mahad Aly lain se-Indonesia.
Tapi realitas sebenarnya sangat mengenaskan ; mahasantri tersebut kami coaching selama 1 bulan penuh, mereka belum pernah membaca dan mengaji kitab tersebut, bahkan menyentuhnya sekalipun, namun mereka harus dituntut untuk menjelaskan ; memakai bahasa Arab lagi. Haihata..
Alhasil, kegundahan penulis benar-benar terbukti ketika melihat skor hasil : 90% yang masuk semifinal hanya takhasus Fikih dan Ushul Fikih, ada sebagian kecil yang bukan dari takahsus tersebut, pun itu ma’dzur , sebab, walaupun dari takhasus lain, tapi masih rasa Fikih yang kental (ini yang bilang bagian dari mereka sendiri, bukan penulis), kenapa bisa dibilang seperti itu? Karna ‘Fathul Wahab’ masih dikaji secara komprehensif di Mahad Aly tersebut.
Ada juga satu lagi yang perlu dikritisi ; peserta dari M1 & M2 yang tidak ada jurang pembeda. Mereka Marhalah Tsani dibiarkan ikut berlomba, berebut kejuaraan bersama dengan adek-adeknya Marhalah Ula, satu panggung. Padahal jelas, Capaian Lulusan Marhalah Ula dan Tsani itu saja berbeda jauh. Ibarat kata ; anak Madrasah Ibtida’iyah disuruh tawuran dengan Tsanawiyah, ya babak belur pastinya. Tapi, apakah ada kemungkinan M1 lebih baik dan menjadi juara? Ya, secara potensi akal sih bisa-bisa saja, tapi langka, seperti nadzam alfiyah ‘Wa Fi Ladunni Ladunni Qalla..’ sedikit sekali.
Terakhir, tidak hanya mengkritisi, namun kami juga mengapresiasi penuh MQK Internasional tahun 2025 ini ; digitalisasi seleksi melalui CBT, dan penilaian digital yang bisa dilihat mubasyarah (langsung) pada website itu sebuah transparansi yang luar biasa sekali. Banyak sekali pesantren-pesantren yang dulu ‘tidak bisa’ mewakili daerah mereka, akhirnya bisa berdikari, menunjukkan jati diri mereka sendiri.
Bravo Kemenag 2025!
Nur Salikin, Mudir Mahad Aly Sa’idushiddiqiyah Jakarta. (05/09)